Majalengka, rajawalinews.online – Dugaan penjualan tanah bengkok di Desa Bongaswetan, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Tanah bengkok, sebagai salah satu aset desa, memiliki peraturan ketat yang melarang pelepasan hak kepemilikan tanpa persetujuan warga desa dan kepala desa, kecuali untuk kepentingan umum. Namun, muncul kabar bahwa tanah bengkok tersebut telah dijual tanpa prosedur yang sesuai.
Tanah bengkok merupakan kekayaan desa yang diatur ketat dalam berbagai regulasi. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melarang kepala desa melakukan tindakan yang merugikan kepentingan umum, menguntungkan diri sendiri, keluarga, atau golongan tertentu, serta menyalahgunakan kewenangan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2007 yang secara eksplisit menyatakan bahwa kekayaan desa berupa tanah tidak boleh dilepas kecuali untuk kepentingan umum.
Pasal 15 ayat (3) Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 juga mengatur bahwa jika tanah desa dilepas untuk kepentingan umum, penggantian berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik di desa tersebut. Selain itu, Pasal 10 dan Pasal 11 Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 menegaskan bahwa tanah bengkok hanya boleh dimanfaatkan tanpa menghilangkan status kepemilikan desa.
Tanah bengkok Desa Bongaswetan yang diduga dijual terletak di Blok Sawah Asem, Blok Kosambi Pandak, dan Blok Gaul, dengan luas total sekitar 10 hektar. Tanah tersebut dijual kepada PT. Indoplas Footware Indonesia dengan nilai transaksi sebesar Rp11.933.550.000. Dugaan ini diperkuat oleh surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Bongaswetan, Sdr. Mamat Saripudin, Nomor: 141/578/XI/Pemdes/2021, tertanggal 1 November 2021.
Namun, penjualan ini memunculkan pertanyaan besar: ke mana aliran dana hasil penjualan tanah tersebut? Apakah digunakan untuk kepentingan masyarakat atau justru untuk kepentingan pribadi? Hal ini menjadi perhatian serius masyarakat Desa Bongaswetan.
Jika terbukti tanah tersebut dijual untuk kepentingan pribadi, kepala desa dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa tindakan memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dihukum penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun, dengan denda minimal Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 mengatur hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar kerugian yang diakibatkan. Dalam kasus serupa yang pernah ditangani, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 7/TIPIKOR/2014/PT.BDG menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada seorang kepala desa, denda Rp50 juta, dan kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp70.428.500.
Masyarakat Desa Bongaswetan meminta transparansi terkait penggunaan dana sebesar Rp11 miliar tersebut. Apakah benar dana itu digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan fasilitas desa, atau ada indikasi penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi?
Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan diharapkan aparat penegak hukum dapat segera mengusut tuntas dugaan tersebut. Jika terbukti ada pelanggaran hukum, maka pelaku harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku untuk menegakkan keadilan.
Tim RED – Agung GMOCT