INI BUKAN SIAPA BELAJAR DIMANA TETAPI MUTLAK SIAPA BELAJAR KEPADA SIAPA
Kabupaten Bekasi – Rajawali news.online
Terhadap muatan materi dalam Rancangan Peraturan Daerah
Di dalam Raperda pasal 2, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Bekasi seolah masih terdapat kesenjangan antar satuan pendidikan yang harus segera diatasi agar terwujud pemerataan kualitas antar satuan pendidikan. Kesenjangan seperti apa yang ditemukan dalam praktek pendidikan menengah di Kabupaten Bekasi dan bagaimana solusi regulasi yang ditawarkan dalam Raperda ini.
Menurut Bram Ananthakuanantha Ketua Umum LSM INSPIRASI, dalam tulisannya menjabarkan,
Ada beberapa hal yang menurut kami menjadi bahan pertanyaan dari tahun ke tahun tanpa solusi aktif :
- Tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan anggaran pendidikan berdasarkan asas keadilan, kecukupan dan berkelanjutan. Apakah pengaturan dalam Raperda ini sudah dapat mengimplementasikan asas-asas tersebut?
- Dalam identifikasi Naskah Akademik, disebutkan bahwa globalisasi dapat menggerus dan menghilangkan budaya-budaya yang ada termasuk bahasa dan budaya daerah. Sejauh mana Raperda ini dapat menjawab permasalahan tersebut?
- Dalam rumusan masalah Naskah Akademik disebutkan penyelenggaraan pendidikan yang berpedoman pada sistem pendidikan nasional dengan pemenuhan standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan tata nilai luhur budaya bisa mempengaruhi gaya hidup para lulusan. Apakah dalam Raperda ini sudah cukup mengatur untuk dapat menjawab rumusan masalah tersebut, terutama pengaturan dalam Raperda ini bisa menjadi pedoman penyelenggaraan pendidikan yang menghasilkan lulusan yang bergaya hidup dengan mengedepankan tata nilai luhur budaya/ tata nilai budaya Kabupaten Bekasi?
- Menurut data yang dimuat dalam Naskah Akademik yaitu pada tabel 2.3. seolah terdapat ketidakmerataan pendidikan di semua wilayah Kabupaten Bekasi.. Permasalahan pemerataan guru dan akses siswa ini perlu diselesaikan oleh regulasi yang seharusnya diatur dalam Raperda ini. Apakah Raperda ini sudah cukup mengatur permasalahan tersebut?
- Bagaimana implementasi Pasal 13 Raperda yang mengatur muatan lokal menjadi penyelenggaraan pendidikan yang inovatif ?
- Mengapa Acuan Naskah akademis nya hanya mengacu pada
- UU NO. 23 TAHUN 2014
- UU NO. 20 TAHUN 2003
- PP NO. 17 TAHUN 2010
Serta RAPERDA yang mengacu pada - UU NO. 16 TAHUN 1950
- UU NO. 20 TAHUN 2003
- UU NO 23 TAHUN 2014
- PP NO 19 TAHUN 2005
- PP NO 47 TAHUN 2008
- PP NO 17 TAHUN 2010
KEMANA - UU NO. 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN
- PP NO. 19 TAHUN 2019 ATAS PERUBAHAN TERHADAP PP NO. 74 TAHUN 2008
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut:
- Mengangkat martabat guru dan dosen
- Menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen
- Meningkatkan kompetensi guru dan dosen
- Memajukan profesi serta karier guru dan dosen
- Meningkatkan mutu pembelajaran
- Meningkatkan mutu pendidikan nasional
- Mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi
- Mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah dan
- Meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Beberapa permasalahan dan isu strategis serta agenda prioritas pembangunan bidang pendidikan dalam 5 (lima) tahun kedepan diantaranya adalah : - pelaksanaan wajib belajar 12 (dua belas) tahun yang berkualitas
- peningkatan kualitas pembelajaran
- peningkatan manajemen Guru, pendidikan keguruan, dan reformasi Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK)
- peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini
- peningkatan keterampilan kerja dan penguatan pendidikan orang dewasa dan
- penguatan tata kelola pendidikan dan efisiensi pembiayaan pendidikan
Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran seluruh unit organisasi yang disebut PGRI untuk dapat bersinergi dalam pencapaian target seluruh agenda prioritas pembangunan bidang pendidikan tersebut.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan salah satu elemen masyarakat profesi di bidang pendidikan. Posisinya sangat strategis karena ikut berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan fokus perhatian pada upaya peningkatan profesionalisme guru disertai kesejahteraan yang memadai. Peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat dilakukan hanya dengan menata kelembagaan, penentuan personal, serta penyediaan prasarana dan sarana serta pembiayaan. Mutu pendidikan itu merupakan persoalan kompleks yang terkait pula dengan segenap dukungan komponen penyelenggaraan pendidikan yang tergabung dalam stakeholder pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menentukan keberhasilan pendidikan.
PGRI sebagai orgaisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenaga kerjaan adalah bersifat unitaristik, tanpa memandang status, keyakinan, asal-usul, tidak memandang perbedaan ijazah, tempat kerja, kedudukan, suku, jenis kelamin, dan agama. PGRI bersifat independen yang berlandaskan pada prinsip kemandirian organisasi dengan mengutamakan kemitra sejajaran dengan berbagai pihak dan PGRI tidak berpolitik praktis yang terikat dan atau mengikat diri pada kekuatan organisasi atau partai politik manapun dan ini harus mandiri tidak mudah di intervensi oleh orang lain. PGRI memiliki dan melandasi kegiatannya pada semangat demokrasi, kekeluargaan, keterbukaan dan tanggung jawab, etika, moral, serta hukum yang menempatkan kedaulatan organisasi yang ada ditangan anggota dan dilaksanakan sepenuhnya dalam PGRI.
Hingga kritik terhadap PGRI pun selama ini memang cukup deras dan keras. Ada yang menyatakan bahwa PGRI sebagai kurang aspiratif, lebih berpihak pada elite birokratis daripada anggotanya, lamban dan kurang profesional, dan lebih banyak mengurusi hal-hal yang kurang fundamental (misalnya: mengenai baju seragam, potongan gaji, dan sebagainya). Lebih dari itu bahkan ada yang mengritik PGRI sebagai alat politik daripada organisasi profesi. Kritik yang beraneka ragam tersebut tentu bisa benar dan bisa pula salah, namun begitu dalam kenyataannya memang terdapat banyak pihak yang kurang puas terhadap jalannya roda organisasi tersebut. Kekurangpuasan ini terkadang melahirkan sinisme-sinisme masyarakat yang kurang konstruktif, misalnya mengepanjangkan PGRI sebagai “Pekerjaan Guru Rajin Istirahat” (karena banyak hal sepele yang dikerjakan PGRI), dan sebagainya.
Pratanda kekurang-profesionalan manajemen PGRI dapat dicermati melalui beberapa indikator, misalnya saja adanya kesan kurang gigihnya PGRI dalam memperjuangkan nasib guru, lemahnya koordinasi dan hubungan kemitraan dengan lembaga-lembaga lain, kurang adanya prestasi profesif yang dicapai PGRI (misalnya tentang peningkatan kualitas guru, pendalaman bidang studi, studi lanjut, dan sebagainya), serta kurang bersemangatnya PGRI dalam aktivitas-aktivitas ilmiah yang berkaitan dengan perikehidupan guru (penelitian, karya tulis ilmiah, karir, dan sebagainya).
Organisasi PGRI sekarang ini seharusnya mengoptimalkan koordinasi dan konsolidasi ke dalam. Apabila selama ini PGRI banyak mengurusi hal-hal yang sifatnya kurang fundamental, harus mulai dengan hal-hal yang lebih fundamental yang sekarang mulai kurang menarik lagi. Kalau selama ini PGRI terkesan sangat tidak vokal mengenai hal-hal yang berkaitan dengan nasib dan peningkatan kompetensi anggotanya, maka vocalitas yang demikian itu harus mulai ditumbuhkan, tentunya di dalam batas toleransi kode etik PGRI itu sendiri. Kalau selama ini PGRI terkesan kering dengan kegiatan ilmiah, maka hal yang demikian ini pun harus mulai ditumbuh-kembangkan.
Masyarakat kita sekarang ini mulai kritis. Mereka tidak segan-segan akan melancarkan kritik pada organisasi profesi jika manajemennya dianggap tidak profesional. Itu berarti kalau PGRI kurang dapat meningkatkan profesionalitasnya, maka pintu PGRI Kabupaten Bekasi harus dibuka lebih lebar lagi agar dapat lebih banyak menampung kritik.
Pada masa mendatang, PGRI diharapkan dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan zamannya. Sesuai dengan dinamika yang terus berlangsung, PGRI hendaknya dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang muncul, menyikapi tantangan yang menghadang dan memberikan kontribusi terhadap tuntutan dan pemenuhan kebutuhan yang dihadapi bangsa, khususnya berkaitan dengan dunia pendidikan yang secara lebih spesifik bersentuhan dengan persoalan guru. Selain itu, PGRI harus memiliki paradigma baru yang paham menyikapi tantangan dalam membangun jati diri dalam menyongsong masa depan.
Dimana peran PGRI dalam hal ini bisa membuat PGRI sebagai organisasi yang mendorong kesiapan sarana pendidikan kepada pemerintah daerah agar seimbang adanya guru,murid dan sarana pendidikan, jika salah satu diantaranya tidak terpenuhi maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai.
PGRI sebagai organisasi guru sudah seharusnya mengakomodir guru-guru honorer dalam satu wadah kepentingan yang sama, agar bisa beriringan kepentingan dengan tujuan yang sama, dan PGRI juga harus mempunyai planing jangka menengah, jangka panjang yang jelas tentang berapa jumlah guru berstatus ASN dan berapa jumlah guru honorer, serta dapat menjadi Organisasi Penjamin Mutu agar mempunyai program yang jelas, terukur dan terarah.
Sudah kah hal ini menjadi perhatian secara menyeluruh dalam RAPERDA ???
KARENA INI BUKAN SIAPA BELAJAR DIMANA TETAPI MUTLAK SIAPA BELAJAR KEPADA SIAPA
Secara keseluruhan Raperda ini mengatur penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan dengan mengacu kepada standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan tata nilai budaya. Kami sangat mengapresiasi rumusan ini yang mencantumkan tata nilai budaya untuk memperkaya atau melengkapi standar nasional pendidikan di Kabupaten Bekasi. Semoga rumusan dalam Raperda ini dapat diimplementasikan secara konsisten, sehingga mampu melahirkan generasi yang siap menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai bangsa yang berbudaya.
(SS)
Sumber :
Bram Ananthakuanantha ( INSPIRASI )