CIREBON,- Rajawalinews.online
Peristiwa kekerasan berupa tindakan pemukulan terjadi di Kampus 3 Fakultas Kedokteran Universitas Gunung Jati (FK UGJ) Cirebon.
Korbannya dr. Herry Nur Hendriyana, MKM., Dosen sekaligus Dokter pelaksana harian di Klinik Cakrabuana FK UGJ. Pelaku dugaan penganiayaan ini seorang Dosen berinisial DN.
Atas kasus ini, Herry sudah melapor ke Polsek Utara Barat Polres Cirebon Kota dengan LP/09/B/II/2021/JBR/RES.CRB.KOTA/SEK.CRB.UTBAR.
Kakak kandung Herry, Drs. Nurhendra mewakili keluarga besar korban, menyebutkan, pihaknya meminta ketua yayasan dan pimpinan di FK UGJ untuk tidak terlibat dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat kepolisian untuk melakukan proses hukum secara profesional.
“Demi keadilan, yang berbuat harus bertanggung jawab. Ini peristiwa pribadi yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku. Jangan ada tekanan ke saksi-saksi. Jangan pula dibuat biasa,” ujarnya, Minggu (21 Februari 2021).
Dalam rilis yang disampaikan Nurhendra, tindakan pemukulan terjadi pada Selasa, 16 Februari 2021 sekitar pukul 14.30 WIB di Kampus 3 FK UGJ Jalan Terusan Pemuda, Kota Cirebon.
Pada kesempatan itu, Herry sedang duduk di ruang pojok ASI di Klinik Cakrabuana. Pelaku kemudian masuk dalam keadaan marah. Korban selanjutnya ditendang sampai terjatuh dan pelaku menindih dengan lutut di dada. Herry dipukul kepalanya tiga atau empat kali oleh pelaku.
Keributan itu dipisah empat orang rekan mereka. Dosen perempuan bernama dr. Tyar mendatangi korban untuk mendamaikan, tapi pelaku kembali menghampiri Herry sambil menantang.
Perdamaian tak tercapai, hingga Herry melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Utara Barat disertai hasil visum atas luka yang dideritanya.
“Langkah melapor ke aparat kepolisian ini atas persetujuan keluarga besar, karena kasus ini tidak cukup hanya perdamaian. Apalagi, tidak ada itikad baik dari pelaku,” ungkap Herry.
Nurhendra melanjutkan, adiknya memang dihubungi Dekan FK UGJ, dr. Catur dan dr. Tyar untuk melakukan mediasi di kampus. Esoknya pertemuan berlangsung dan Herry diminta mencabut laporan polisi tanpa ditanya kronologisnya.
Lewat HP dekan, ketua yayasan menyebut Herry melangkahi institusi karena melaporkan peristiwa penganiayaan ke polisi. Herry diminta menghadap ke yayasan esok harinya.
Pertemuan di yayasan dihadiri ketua, dekan, wakil dekan, wakil rektor, korban dan pelaku. Korban kembali diminta mencabut laporan dan menandatangi perdamaian.
“Dalam pertemuan itu, adik saya mendapat tekanan psikis. Pihak kampus cenderung pilih kasih, menyudutkan dan tidak bijak. Padahal, adik saya itu korban penganiayaan,” kata Nurhendra.
Yang lebih mengejutkan, tambahnya, Herry tidak boleh lagi menjalankan aktivitas sebagai dosen, melakukan bimbingan dan tugas lainnya.
“Alasannya melakukan tindakan indisipliner, meninggalkan tempat mediasi tanpa pamit dan melapor ke polisi. Ini kan aneh, korban disudutkan dan pelaku penganiayaan malah dilindungi. Ada apa ini sampai pihak kampus dan yayasan intervensi terlalu jauh,” tandasnya.
Menurut Nurhendra, pihak keluarga besar Herry tidak terima atas peristiwa pemukulan tersebut. Karena itu, melapor ke polisi dan meminta kasus ini diselesaikan sampai tuntas.
Selain itu, mengharapkan pihak Yayasan dan Kampus bersikap adil dan bijaksana serta mengembalikan Herry sebagai dosen.
(SS/red)