HomeJawa BaratPemeriksaan BPK Ungkap Potensi Kerugian Negara Sebesar 329 Juta dalam Proyek Jalan...

Pemeriksaan BPK Ungkap Potensi Kerugian Negara Sebesar 329 Juta dalam Proyek Jalan Lingkungan Kuningan

Kuningan, rajawalinews.online – Pemeriksaan mendalam yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek pembangunan jalan lingkungan di Kabupaten Kuningan mengungkapkan potensi kerugian negara sebesar Rp.329.491.496,32. Temuan ini berawal dari ketidaksesuaian dalam perhitungan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang digunakan dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam pekerjaan latasir kelas A manual, yang pada akhirnya berujung pada kelebihan pembayaran yang tidak wajar.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahun Anggaran 2023 menunjukkan bahwa belanja barang dan jasa yang tercatat oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP) mencapai Rp.740.038.445.929,00, atau 86,94% dari anggaran yang dianggarkan sebesar Rp.851.238.937.094,00. Salah satu komponen terbesar dari belanja ini adalah pengadaan barang untuk proyek pembangunan jalan lingkungan melalui 115 paket pekerjaan. Namun, hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan adanya ketidaksesuaian mendasar dalam perhitungan AHSP, khususnya dalam pekerjaan latasir kelas A manual. DPKPP menghitung volume pekerjaan dengan menggunakan koefisien berat jenis sebesar 2,22, sementara di proyek yang sama, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) hanya menggunakan koefisien sebesar 2,16, meski pekerjaan tersebut juga melibatkan jalan lingkungan dengan metode alat berat. Perbedaan koefisien ini secara langsung mempengaruhi hasil perhitungan volume pekerjaan dan mengarah pada peningkatan pembayaran yang tidak seharusnya terjadi.

Ketidaksesuaian tersebut semakin jelas ketika ditemukan fakta bahwa AHSP yang disusun oleh PPK di DPKPP memasukkan komponen tenaga kerja yang digunakan untuk pekerjaan manual, namun peralatan yang dihitung dalam AHSP tersebut justru termasuk alat berat seperti roller, yang seharusnya tidak digunakan dalam pekerjaan manual. Pada akhirnya, komponen ini berperan penting dalam menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dijadikan dasar kontrak dan pembayaran, yang pada gilirannya mengarah pada pemborosan anggaran yang tidak semestinya terjadi.

Koefisien tenaga kerja yang digunakan dalam perhitungan AHSP juga menunjukkan kekeliruan yang signifikan. Berdasarkan analisis BPK, perhitungan tenaga kerja seharusnya disesuaikan dengan metode manual, yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan mekanis. Koreksi terhadap koefisien tenaga kerja menghasilkan perbedaan yang sangat signifikan, dengan potensi kelebihan pembayaran yang mencengangkan.

Perbedaan yang mencolok ini menunjukkan betapa cerobohnya proses perhitungan yang dilakukan, yang seharusnya dilakukan dengan sangat teliti dan sesuai dengan regulasi yang ada. Pemeriksaan ini juga mengungkapkan bahwa pengawasan oleh PPK tidak berjalan dengan optimal, dan Penyedia Jasa pun tidak cukup cermat dalam menghitung volume pekerjaan. Kelemahan dalam pengawasan dan perencanaan ini berpotensi merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar.

Dalam hal ini, peraturan yang jelas tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 8 Tahun 2023 yang mengatur penggunaan alat berat dalam pekerjaan mekanis dan pembatasan penggunaan peralatan berat dalam pekerjaan manual justru diabaikan. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini tidak hanya menciptakan ketidaktepatan dalam perhitungan, tetapi juga merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah.

Akibat dari kelalaian ini, dana negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat justru terkuras oleh kesalahan perhitungan yang fatal. Keputusan untuk tidak mengevaluasi dengan seksama AHSP dan perhitungan volume pekerjaan menimbulkan kerugian yang tidak dapat dibenarkan. Kerugian sebesar Rp.329.491.496,32 ini menunjukkan kelemahan serius dalam sistem pengawasan dan pengendalian proyek-proyek pemerintah yang mengelola dana publik. (Redaksi)

- Advertisment -

Most Popular

Kuningan, rajawalinews.online – Pemeriksaan mendalam yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek pembangunan jalan lingkungan di Kabupaten Kuningan mengungkapkan potensi kerugian negara sebesar Rp.329.491.496,32. Temuan ini berawal dari ketidaksesuaian dalam perhitungan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang digunakan dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam pekerjaan latasir kelas A manual, yang pada akhirnya berujung pada kelebihan pembayaran yang tidak wajar.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahun Anggaran 2023 menunjukkan bahwa belanja barang dan jasa yang tercatat oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP) mencapai Rp.740.038.445.929,00, atau 86,94% dari anggaran yang dianggarkan sebesar Rp.851.238.937.094,00. Salah satu komponen terbesar dari belanja ini adalah pengadaan barang untuk proyek pembangunan jalan lingkungan melalui 115 paket pekerjaan. Namun, hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan adanya ketidaksesuaian mendasar dalam perhitungan AHSP, khususnya dalam pekerjaan latasir kelas A manual. DPKPP menghitung volume pekerjaan dengan menggunakan koefisien berat jenis sebesar 2,22, sementara di proyek yang sama, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) hanya menggunakan koefisien sebesar 2,16, meski pekerjaan tersebut juga melibatkan jalan lingkungan dengan metode alat berat. Perbedaan koefisien ini secara langsung mempengaruhi hasil perhitungan volume pekerjaan dan mengarah pada peningkatan pembayaran yang tidak seharusnya terjadi.

Ketidaksesuaian tersebut semakin jelas ketika ditemukan fakta bahwa AHSP yang disusun oleh PPK di DPKPP memasukkan komponen tenaga kerja yang digunakan untuk pekerjaan manual, namun peralatan yang dihitung dalam AHSP tersebut justru termasuk alat berat seperti roller, yang seharusnya tidak digunakan dalam pekerjaan manual. Pada akhirnya, komponen ini berperan penting dalam menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dijadikan dasar kontrak dan pembayaran, yang pada gilirannya mengarah pada pemborosan anggaran yang tidak semestinya terjadi.

Koefisien tenaga kerja yang digunakan dalam perhitungan AHSP juga menunjukkan kekeliruan yang signifikan. Berdasarkan analisis BPK, perhitungan tenaga kerja seharusnya disesuaikan dengan metode manual, yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan mekanis. Koreksi terhadap koefisien tenaga kerja menghasilkan perbedaan yang sangat signifikan, dengan potensi kelebihan pembayaran yang mencengangkan.

Perbedaan yang mencolok ini menunjukkan betapa cerobohnya proses perhitungan yang dilakukan, yang seharusnya dilakukan dengan sangat teliti dan sesuai dengan regulasi yang ada. Pemeriksaan ini juga mengungkapkan bahwa pengawasan oleh PPK tidak berjalan dengan optimal, dan Penyedia Jasa pun tidak cukup cermat dalam menghitung volume pekerjaan. Kelemahan dalam pengawasan dan perencanaan ini berpotensi merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar.

Dalam hal ini, peraturan yang jelas tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 8 Tahun 2023 yang mengatur penggunaan alat berat dalam pekerjaan mekanis dan pembatasan penggunaan peralatan berat dalam pekerjaan manual justru diabaikan. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini tidak hanya menciptakan ketidaktepatan dalam perhitungan, tetapi juga merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah.

Akibat dari kelalaian ini, dana negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat justru terkuras oleh kesalahan perhitungan yang fatal. Keputusan untuk tidak mengevaluasi dengan seksama AHSP dan perhitungan volume pekerjaan menimbulkan kerugian yang tidak dapat dibenarkan. Kerugian sebesar Rp.329.491.496,32 ini menunjukkan kelemahan serius dalam sistem pengawasan dan pengendalian proyek-proyek pemerintah yang mengelola dana publik. (Redaksi)