Kuningan, rajawalinews. – Polemik terkait keberadaan menara telekomunikasi milik Mitratel yang berdiri sejak 1994 di Dusun Manis RT 05, Desa Luragung Tonggoh, Kecamatan Luragung, menjadi perbincangan hangat warga. Isu ini mencuat setelah munculnya rencana perpanjangan kontrak sewa lahan yang sempat memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.
Menanggapi isu yang kian berkembang, Pemerintah Desa Luragung Tonggoh akhirnya angkat bicara. Salah satu tudingan yang muncul adalah anggapan bahwa Kepala Desa bersikap plin-plan dalam menyikapi persoalan tower tersebut.
Emnar Maeso Jenar, SE, Kepala Desa Luragung Tonggoh, saat ditemui di ruang kerjanya pada Senin (09/06/2025), kepada media Rajawalinews.online memberikan penjelasan atas dinamika yang terjadi..
Ia menjelaskan bahwa sejak awal 2024, masa kontrak antara Mitratel dan pemilik lahan, almarhum H. Ujang, telah berakhir. Tower tersebut telah berdiri selama 30 tahun dan rencana perpanjangan kontraknya sempat menuai polemik di tengah masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah desa mengambil langkah proaktif dengan menemui almarhum H. Ujang sebelum beliau wafat. Saat itu, Pemdes menyampaikan aspirasi warga yang menginginkan kontrak tower tidak diperpanjang demi kenyamanan lingkungan. Almarhum menyetujui permintaan tersebut.
Sebagai tindak lanjut, kontrak kerjasama dengan Mitratel dihentikan pada April 2024. Namun, mengacu pada perjanjian awal, Mitratel masih diberi masa transisi selama satu tahun untuk mencari lokasi pengganti sebelum tower lama benar – benar di bongkar.
Dalam upaya menjaga kepercayaan dan stabilitas hubungan antarpihak, Pemdes tetap menghormati perjanjian tersebut sebagai bagian dari komitmen terhadap perjanjian yang telah berlaku sejak 1994.
Pada April 2025, Pemdes kembali menghubungi Mitratel untuk mengevaluasi rencana pembangunan tower baru dan diketahui bahwa pihak perusahaan masih berencana membangun tower di wilayah Luragung Tonggoh. Namun, lokasi yang diusulkan berada sangat dekat dengan permukiman,sehingga memicu penolakan dari warga.
Pemdes memahami pentingnya sarana telekomunikasi, namun demi menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan, pihak desa bersama warga menolak jika tower di bangun terlalu dekat dengan pemukiman. Jika lokasi pembangunan berada pada radius yang aman dan jauh dari rumah warga, maka tidak ada keberatan. Terlebih, jika tower dibangun di atas tanah milik pribadi, hal di khawatirkan menimbulkan kecemburuan antar warga.
Untuk mengatasi kebuntuan, Pemdes dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) menggelar pertemuan dengan pihak Mitratel. Dalam pertemuan tersebut, Pemdes menawarkan sejumlah tanah desa yang berlokasi jauh dari permukiman, seperti wilayah Bantarawi, perbatasan Margasari, serta perbatasan Luragung Tonggoh di area pesawahan. Namun, semua lokasi ditolak pihak Mitratel dengan alasan teknis yang mengharuskan posisi tower berada dekat permukiman.
Sebagai alternatif, Pemdes mengusulkan lokasi di tanah hansip dekat lapangan bola, yang berjarak sekitar 72 meter dari permukiman. Setelah dilakukan survei, Mitratel menyetujui lokasi tersebut. Namun, Pemdes menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan warga melalui mekanisme musyawarah.
Rapat koordinasi digelar pada 17 April 2025. Dalam forum tersebut, pihak Puskesmas yang lokasinya dekat dengan rencana pembangunan menyatakan tidak keberatan. Namun, mayoritas warga yang hadir menyampaikan penolakan. Akhirnya, rapat memutuskan bahwa pembangunan tower tidak dilanjutkan di lokasi tersebut.
Setelah penolakan itu, komunikasi antara Pemdes dan Mitratel sempat terhenti. Meski Mitratel masih meminta lokasi alternatif, semua tawaran baru dari Pemdes tetap ditolak. Tanah hansip tetap menjadi satu-satunya lokasi yang disetujui pihak perusahaan.
Di tengah sejumlah persoalan desa lainnya, seperti pengembangan Koperasi Merah Putih, pengelolaan BUMDes, masalah sampah, pembatalan pembangunan jalan, serta desakan warga RT 05 agar tower lama segera dibongkar, Pemdes belum mengambil keputusan baru soal lokasi pengganti tower.
Situasi kemudian berlanjut pada rapat koordinasi kedua yang digelar 3 Juni 2025. Meskipun agenda awal rapat tidak membahas soal pembangunan tower, diskusi pada saat itu mengarah pada polemik di lingkungan warga RT 05 yang menginginkan tower segera dipindahkan. Rapat sempat terhenti akibat pemadaman listrik, dan diskusi informal tetap berlangsung, namun di tengah rapat menghasilkan usulan baru dari para ketua RT dan RW.
Sebanyak 11 dari 12 ketua RT (Rukun Tetangga) serta seluruh ketua RW (Rukun Warga) menyatakan setuju jika tower dipindahkan ke tanah hansip dekat lapangan bola. Namun, karena Ketua RT 04 berhalangan hadir dikarenakan anaknya sedang sakit, Pemdes belum mengambil keputusan final.
Pemerintah desa memilih menunda keputusan rapat tersebut yang berkaitan dengan lokasi tower dan menyerahkan proses lebih lanjut kepada 12 ketua RT dan 3 ketua RW sebagai paralegal Desa Luragung Tonggoh, sesuai tugas mereka, karena terdapat dua kepentingan di masyarakat: ada yang setuju dan ada yang menolak. Meski mayoritas telah menyatakan setuju, Pemdes masih menunggu laporan resmi dari BPD.
Namun, di tengah proses menunggu laporan resmi dari BPD, beredar poster di media sosial yang menyudutkan Kepala Desa dengan tuduhan plinplan dalam menangani persoalan tower.
“Tuduhan itu tidak berdasar. Karena secara prinsip, saya masih berpegang pada keputusan rapat pertama yang menolak pembangunan tower. Rapat kedua belum menghasilkan keputusan apa pun dari saya sebagai kepala desa,” tegas Emnar.
Ia juga menambahkan bahwa keputusan final berada di tangan BPD sebagai perwakilan masyarakat, bukan di tangan pemerintah desa semata.
“Walaupun ada masukan dari RT dan RW, kami tetap menghargai mekanisme musyawarah. Dan selama belum ada laporan resmi dari BPD, kami tidak akan memutuskan apa pun,” pungkasnya. ( red )